RSS
Container Icon

Serahkan Pada Dia (story part 1)

Part I


Wanita itu menjatuhkan dirinya di bangku dan menjatuhkan kantong sampahnya di antara kedua kakinya. Dengan sikut di lutut dan pipi di tangannya, ia memandang trotoar. Semuanya sakit. Punggung. Kaki. Leher. Pundaknya kaku dan tangannya kebas. Semuanya gara-gara kantong itu.

    Oh, seandainya sampah ini bisa dibuang. Awan sambung menyambung membentuk langit-langit kelabu, kelabu dengan seribu duka. Gedung-gedung bernoda asap menciptakan bayang-bayang panjang, menggelapkan gang-gang dan orang-orang yang lewat. Gerimis menjadikan udara dingin dan menjadikan selokan jalanan berlumpur. Wanita ini mengambil jeketnya. Sebuah mobil lewat membuat kantongnya basah kuyub dan menciprati celana jeans-nya. Ia tidak bergeming. Terlalu letih.
Kenangan hidupnya tanpa sampah itu samara-samar. Mungkin ketika amsih kecil? Punggungnya lebih lurus ketika itu, jalannya lebih cepat..atau, apakah itu hanya mimpi? Ia tidak tahu pasti.
Mobil kedua. Yang satu ini berhetni dan parker. Seorang pria turun. Wnaita ini melihat sepatu sang pria di salju yang kotor. Dari mobilnya sang pria mengeluarkan sebuah kantong sampah, penuh. Sang pria menyelempangkannya di pundaknya dan mengumpat karena berat.

    Mereka sama-sama tidak berbicara. Siapa tahu apakah sang pria memperhatikannya atau tidak. Wajahnya tampak muda, lebih muda daripada punggungnya yang bungkuk. Beberapa saat kemudian ia sudah pergi. Wanita ini kembali memandangi trotoar.

    Ia tidak pernah memandangi sampahnya. Sebelumnya ya. Tetapi yang dilihatnya itu membuatnya merasa jijik, maka semenjak itu ia tutup kantongnya. Apa lagi yang mungkin diperbuatnya? Menyerahkannya kepada sesorang? Semua juga mempunyai kantong sampah masing-masing.

    Tiba-tiba suatu hari kita perhatikan bahwa langkah kita telah kehilangan keceriaannya. Langit telah kehilangan birunya. Buku kenangan telah memudar, gambarnya telah menguning dan kabur. Bukan demikian rencana kita. Itu terjadi begitu saja. Ketika itulah kita melihat ke bawah dan memperhatikan sesuatu di tangan kita. Kantong sampah penuh sampai ke ujung. Atau mungkin dua, keduanya menggelembung. Siapa sih yang memberikannya kepada kita? Bagaimana kita mendapatkannya? Bagaimana kita bisa membuangnya. Mungkin anda tidak mengerti dari mana asalnya beban itu atau apa yang harus diperbuat dengannya, tetapi anda tahu satu hal-memikul semua sampah itu tidak baik bagi anda.

Periksalah kantong sampah anda sendiri. Apakah yang perlu anda buang tetapi entah kenapa tidak bisa..atau tidak mau?

Apa isi kantong anda?

KESEPIAN
Judy bukan seorang pelacur. Ia tidak menyalahgunakan obat-obatan atau hidup  dengan tunjangan. Ia tidak pernah dipenjara.Ia bukan orang buangan. Ia terhormat. Ia mengadakan pesta dan sellau memakai pakaian bermerk. Dan ia sangat kesepian “ Aku melihat orang bersama-sama, dan aku demikian cemburunya sampai-sampai mau muntah rasanya. Aku bagaimana? Aku bagaimana?” Walau ia punya banyak kenalan tapi tidak punya banyak teman “ Siapa yang mau mengasihi Judy Bucknell?” Ia menulis buku hariannya “ Aku merasa demikian tua, tidak dikasihi, tidak diinginkan, ditelantarkan. Dimanfaatkan. Aku ingin menangis dan tidur selamanya”  Pesan yang jelas dari kata-katanya. Walaupun tubuhnya mati tanggal 9 Juni karena luka-luka tusukan, hatinya telah lama mati”

KEKHAWATIRAN
Kekhawatiran itu kantong beban. Penuh dengan “ bagaimana seandainya..” dan “ bagaimana mungkin..” Kantong Kekhawatiran besar, membuat kikuk. Tidak menarik. Kasar. Sulit ditangani. Mengesalkan untuk dipikul dan mustahil dibuang. Tidak seorangpun menginginkan kekhwatiran anda. Kecemasan membagi energi hari ini dengan msalah hari esok. Sebagian pikiran memikirkan yang sekarang. Sisanya memikirkan yang belum terjadi, dan hasilnya adalah kehidupan setengah hati. Bukan itu saja. Kekhawatiran itu bukanlah penyakit, tetapi menimbulkan penyakit. Kekhawatiran telah dihubungkan dengan tekanan darah tinggi, msalah jantung, kebutaan, sakit kepala sebelah, malfungsi thyroid dan kelainan perut. Kecemasan itu kebiasaan yang mahal. Tentu, mungkin harganya layak seandainya itu efektif. Ternyata tidak, kecemasan itu sia-sia. (Mat 6:27)

KEPEDIHAN
Mungkin luka itu sudah lama. Orang tua melecehkan anda. Guru menyepelekan anda. Pasangan mengkhianati anda. Dan anda marah. Atau mungkin lukanya baru. Anda merasa tidak dikasihi. Sesorang berjanji dan melupakannya begitu saja. Dan anda tersinggung.
Sebagian diri anda remuk,dan sisanya pahit. Sebagian diri anda ingin menangis, dan sebagian lagi ingin melawan. Air mata yang anda keluarkan terasa panas sebab keluar dari hati anda, dan ada api berkobar-kobar dalam hati anda. Itulah api amarah. Berkobar-kobar. Menghanguskan. Perciknya melompat-lompat di bawah uap keinginan menuntut balas. Dan anda harus mengambil keputusan “Apakah kupadamkan apinya, atau malah kukobarkan? Apakah aku melupakannya ataukah menuntut balas? Apakah aku melepaskannya atau mendendam? Apakah aku biarkan lukaku sembuh, atau kubiarkan itu berubah menjadi kebencian?”

Kebencian adalah ganjanya emosi.
Itu membuat darah kita bergejolak dan energi meningkat. Tetapi, juga seperti ganja, ia menuntut dosis yang semakin besar dan semakin sering. Ada titik berbahaya di mana amarah tidak lagi menjadi emosi melainkan daya dorongh. Seseorang yang ingin menuntut balas tanpa sadar semakin jauh dari kemampuan memaafkan. Itulah sebabnya orang yang penuh kepahitan mengeluh kepada siapa saja yang mau mendengarkan. Mereka ingin –mereka butuh-api mereka dikobarkan.

Ijinkan saya menjelaskan, Kebencian akan membuat muka anda masam dan membuat punggung anda patah. Beban kepahitan pokoknya terlalu berat. Lutut anda takkan kuat menahannya dan hati anda akan remuk di bawahnya. Gunung didepan anda sudah curam  tanpa beratnya beban kebencian di pundak anda. Pilihan yang paling bijaksana adalah membuang amarah anda. Anda tidak akan pernah dipanggil untuk memberi siapapun kasih karunia yang lebih besar daripada yang telah Allah berikan pada anda.

KEGAGALAN
Tidak ada yang loebih menyeret dengan keras kepala daripada sekantong kegagalan.
Seandainya anda bisa mengulangnya, tentu akan anda lakukan seara berbeda. Anda akan lebih sabar. Anda akan mengendalikan lidah anda, anda akan lebih bersungguh-sungguh mengerjakannya. Tetapi tidak bisa. Dan sesering apapun anada mengatakan pada diri sendiri “yang sudah ya sudah” yang anda buat tidak mungkin dibatalkan. Kaum legalisme menyarankan anda untuk menanggalkan beban anda. Sebuah lilin untuk setiap batu. Doa untuk setiap kerikil. Kedengarannya masuk akal sih, tetapi bagaimana seandainya saya keliru menghitung? Bagaimana kalau saya kehilangan waktu? Anda panik. Apakah yang anda perbuat dengan batu-batu yang membuat anda tersandung itu?...
(bersambung)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar